Jakarta - Bung Karno dengan kalimat saktinya "Beri aku
sepuluh pemuda maka akan aku guncang dunia" telah dipelesetkan menjadi
"Beri aku 10 boyband maka akan aku goyang alayers-alayer" (baca: anak
baru gede).
Begitu candaan di sosial media belakangan ini. Bisa
jadi identitas kebangsaan pemuda hari ini telah luntur dengan pengaruh
budaya pop yang sedang hits. Berbeda dengan imajinasi kebangsaan pemuda
era 1928 yang ingin merdeka dari belenggu penjajahan.
Mereka
"inisiator Sumpah Pemuda" adalah sekelompok pemuda yang secara sadar
berkumpul bersama mendengungkan semangat persatuan. Dengan lafadz
Bertumpah darah air satu, Tanah Air Indonesia.
Berbangsa satu,
Bangsa Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia telah
memupuk gelora perlawanan atas penindasan. Dengan Sumpah Pemuda,
identitas bangsa mulai dieratkan. Tak ada lagi daerah atau suku yang
berjuang sendiri-sendiri.
Itu perbandingan pemuda pra kemerdekaan
dengan pemuda hari ini. Semangat patriotisme Jong Ambon, Jong Celebes,
Jong Batak, Jong Sumatranen, Jong Islamieten Bond, Pemuda Kaum Betawi,
Jong Java, dll ternyata tidak bereinkarnasi dengan pemuda hari ini yang
lebih gandrung dengan hedonisme, individualisme, dan pragmatisme.
Tak
bisa dipungkiri, semangat perjuangan anak muda zaman penjajahan dengan
zaman penikmat kemerdekaan saat ini tak berbanding lurus. Anak muda hari
ini berjuang melawan 'penjajahan' budaya.
Mereka yang lahir dari
produk globalisasi sudah sedikit banyak terkontaminasi ideologi impor
yang merusak tatanan berbudaya bangsa Indonesia. Akulturasi yang tidak
sejalan dengan narasi besar Sumpah Pemuda begitu menjangkit anak muda
Indonesia hariini.
Dalam ungkapan Noam Chomsky (Profesor Linguistik Amerika), media
merupakan kurir yang sangat kuat dalam mempromosikan ideologi baru
kepada anggota masyarakat yang memiliki tingkat melek media yang rendah,
anak-anak misalnya.
Pengkhianatan Sumpah Pemuda
Bertumpah
darah air satu, Tanah Air Indonesia saat ini telah berubah menjadi
tumpah darah asing. Coba tengok tanah ibu pertiwi Indonesia telah
dibombardir dengan alat berat untuk dikeruk sumber daya alamnya.
Jika
pemanfaatannya bisa menyejehaterakan rakyat Indonesia tak jadi soal,
hanya saja keuntungan yang diambil pihak asing selalu lebih besar.
Kemudian, Berbangsa satu bangsa Indonesia hanya menjadi jargon.
Faktanya,
anak muda hari ini lebih hafal Gangnam Style dibanding Jaipong.
Berbahasa satu, Bahasa Indonesia telah dirusak dengan tatanannya dengan
kamus besar Vicky-isasi (baca: bahasa sok intelek Vicky Prasetyo).
Beberapa
contoh yang penulis ambil mungkin kasuistik. Bisa jadi hanya gambaran
subjektif penulis. Namun tak bisa dipungkiri itulah realitas kekinian
sumpah pemuda hari ini. Sejatinya, sumpah pemuda adalah semangat
progresif untuk bertransformasi.
Definisi usia pemuda jika
ditilik dari UU Kepemudaan nomor 40 tahun 2009 yakni 15 sampai dengan 30
tahun. Namun progresifitas seseorang bukan hanya monopoli kaum muda
secara umur.
Kategorisasi muda bukan gambaran otot kawat baja,
rambut hitam, kulit belum berkeriput, dan berjalan tegap. Yang dimaksud
muda adalah yang selalu gelisah atas kondisi keterpurukan bangsanya.
Sesuatu yang segar memang lebih disukai dibanding yang usang.
Refleksi Sumpah Pemuda, Yang Muda Yang Bersumpah
Written By baranews on Senin, 28 Oktober 2013 | 09.56
Label:
Opini
Posting Komentar